Minggu, 22 Agustus 2010

Rebus atau Panggang? Pilih Olah Makanan Terkait Gengsi dan Tabu

By: Ratih

Pilihan soal makanan yang direbus atau dipanggang sebenarnya sepele bagi kita. Kita pilih soto dengan potongan daging kecil yang direbus karena kita ingin makan siang dengan menu ini. Lalu kita pilih steak untuk makan malam karena kita terbayang rasa lezat daging has dalam nan empuk yang disajikan dengan saus lada hitam, misalnya. Chinese food atau western food tak masalah. Berbeda dengan masyarakat di ujung sana, di negeri antah berantah pada masa lalu atau masa kini. Pilihan soal makanan yang direbus atau dipanggang menjadi penting karena berkaitan dengan konsep hidup mereka. Soal gengsi dan tabu.

Linguistik mengenal konsep konsonan dan vokal. Konsep ini dikenal pula dalam dunia kuliner. Konsonan bisa diartikan sebagai sesuatu yang tertutup sedangkan vokal berarti terbuka. Segala hal yang berhubungan dengan tata cara masak yang sekiranya tabu, tidak akan dilakukan. Misalnya saja, pilihan antara membakar dan merebus pada suku asli di New Caledonia berkaitan dengan hubungan mereka antara alam dan teknologi. Penggunaan panci dan alat panggang merupakan sebuah gengsi tersendiri. Sebuah bukti peradaban. Teks dari Aristoteles yang ditemukan oleh Salomon Reinach mengindikasikan bahwa orang Yunani dahulu kala selalu memanggang makanan. Suku Poconachi di Meksiko panggang makanan hanya setengah matang karena setengah matang berarti berada di tengah-tengah dunia.
Makanan yang direbus merupakan “endo-cuisine” disediakan untuk kepentingan domestik, kelompok kecil, sedangkan makanan yang dipanggang ialah “exo-cuisine” yang disajikan untuk para tamu. Di Perancis, ayam rebus untuk keluarga sedangkan daging panggang untuk perjamuan tamu.
Pada Suku Guayaki di Paraguay, mereka panggang semua makanan, kecuali saat sebuah ritus kelahiran anak, daging harus direbus. Sedangkan suku Caingang di Brazil melarang daging rebus untuk para janda dan duda atau siapapun yang sudah membunuh musuhnya (Strauss. 1997).

Waduh, serem juga ya Suku Caingang..melibatkan soal bunuh membunuh segala dengan makanan. Pastinya kita disini tidak berhubungan dengan gengsi atau tabu dalam memilih makanan, kecuali tempat makan mana yang kamu pilih. Soal jenis makanan tergantung selera. Beruntunglah kita tidak memiliki aturan baku seperti di masyarakat lainnya yang telah disebutkan tadi. Mau makan apapun tak terkait dengan norma. Jadi nikmati makanan yang jadi pilihan kamu, tentunya dengan pertimbangan rasa, harga dan suasana restoran yang akan didatangi.

Daftar Pustaka:

Levi- Strauss, Claude. 1997. “The Culinary Triangle” dalam Food and Culture. Carole Counihan and Penny van Esterik (Editor). Oxon: Routledge.


See also: dim sum, soto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar